Selasa, 30 April 2013

Sistem Komunikasi Masyarakat Multikultular


A.    Masyarakat Multikultural

1. Pengertian
Sebagaimana pengertian Masyarakat ialah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Dan juga sebagaimana pengertian Multikultural yang berasal dari kata multi dan kultur, yang berarti multi ialah banyak, sedangkan kultur ialah budaya.
Jadi Multikultural ialah banyak kebudayaan, atau lebih kita kenal pula dengan istilah multikulturalisme merupakan sebuah ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada kesederajatan perbedaan kebudayaan, multikulturalisme juga digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat multikultural merupakan suatu masyarakat yang terdiri atas banyak struktur kebudayaan.  Di dalam masyarakat multikultural terdapat banyak kelompok masyarakat yang memiliki karakteristik berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan karakteristik itu berkenaan dengan tingkat diferensiasi dan stratifikasi sosial. Masyarakat multikultural sering juga disebut masyarakat majemuk.
2.      Ciri-ciri Masyarakat Multikultural
a.       Mempunyai struktur lebih dari satu.
b.      Nilai nilai dasar yang merupakan kesepakatan bersama sulit berkembang.
c.       Sering terjadi konflik konflik yang berbau SARA.
d.      Struktur sosialnya lebih bersipat nonkomplometer.
e.       Proses intregrasi yang terjadi berlangsung secara lampat.
f.       Sering terjadi dominasi ekonomi, politik dan sosial budaya.


B.     Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Masyarakat Multikultural
1.      Latar belakang historis
Adanya perbedaan waktu dan jalur perjalanan ketika nenek moyang bangsa Indonesia berpindah (migrasi) dari Yunan (Cina Selatan) ke pulau-pulau di Nusantara
2.      Keadaan geografis
Keadaan ini menyebabkan tiap-tiap pulau memiliki penduduk dengan budaya yang berkembang sendiri-sendiri dan sulit berkomunikasi dengan pulau-pulau yang lainnya.
3.      Pengaruh kebudayaan asing
Adanya kontak dan komunikasi dengan para pedagang asing yang memiliki corak budaya dan agama yang berbeda menyebabkan terjadinya proses akulturasi unsur kebudayaan dan agama.
4.      Kondisi iklim yang berbeda
Ada komunitas yang mengandalkan laut sebagai sumber pemenuhan kebutuhan kehidupannya ada pula yang mengandalkan pertanian dan perkebunan.
5.      Keterbukaan terhadap kebudayaan luar
Bangsa Indonesia adalah contoh bangsa yang terbuka. Hal ini dapat dilihat dari besarnya pengaruh asing dalam membentuk keanekaragaman masyaarkat di seluruh wilayah Indonesia yaitu antara lain pengaruh kebudayaan India, Cina, Arab dan Eropa

C.     Sistem Komunikasi Masyarakat Multikultural
Sistem merupakan satu kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi. Sedangkan sistem komunikasi itu sendiri ialah dimana terdapat satu kesatuan terpadu baik terhadap komponen maupun elemennya dalam hal saling berinteraksi dan bertukar informasi.

Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa majemuk yaitu bangsa yang tersusun dan terbangun di atas beragam etnis, suku, budaya, agama, dan sistem nilai. Keragaman tersebut merupakan sebuah fenomena sosial yang tidak mungkin diubah karena memang sejak lama masyarakat Indonesia memiliki latar belakang budaya (cultural background ) heterogen. Heterogenitas budaya sering kali diikuti dengan perbedaan tata bahasa, simbol dan perilaku masyarakat yang ada di dalamnya. Komunikasi multikultural muncul dari pemahaman tentang multikulturalisme.

Multikulturalisme pada mulanya adalah terminologi dalam disiplin antropologi. Tetapi,sebagaimana lazimnya istilah dan konsep dalam sebuah cabang ilmu ia kemudian digunakan juga dalam cabang ilmu lain dengan makna dan tujuan yang tentu saja sudah bergeser. Watak masyarakat multikultural ialah toleran, maka toleran itulah yang biasanya dijadikan patokan dalan berkomunikasi.

Komunikasi multikultural dipengaruhi oleh berbagai simbol kebudayaan yang bersumber dari karakter individual manusia sebagai subyek penentu pertumbuhan, perkembangan dan perubahan budaya suatu masyarakat.
Komunikasi multikultural dipengaruhi oleh berbagai simbol kebudayaan yang bersumber dari karakter individual manusia sebagai subyek penentu pertumbuhan, perkembangan dan perubahan budaya suatu masyarakat.

Komunikasi dalam konteks lintas kultur ini dapat dilakukan lewat bahasa verbal maupun simbolik. Dengan menggunakan pendekatan teori interaksi simbolik maka komunikasi multikultural mempunyai peran sangat penting untuk mengamati nilai dan makna yang dianut oleh subyek penelitian. Dengan teori interaksi simbolik ini peneliti dapat memahami bagaimana sifat khusus yang ada pada berbagai etnis sehingga mereka memasuki proses komunikasi multikultural. Komunikasi multikultural juga mengedepankan dialog antar berbagai komunitas dan tokoh masyarakat dengan menggunakan pendekatan kultur.

Sistem komunikasi masyarakat multikultural mengalami berbagai kesulitan karena objeknya ialah yang memiliki perbedaan baik kebudayaan berbahasa, adat kebiasaan, juga nilai-nilai religious, sehingga dalam berkomunikasi sering terjadi permasalahan, diantaranya :
a.       Konflik
Merupakan suatu proses disosiatif yang memecah kesatuan di dalam masyarakat. Meskipun demikian konflik tidak selamanya negatif, adakalanya dapat menguatkan ikatan dan integrasi
b.      Integrasi
Adalah dibangunnya interdependensi yang lebih rapat dan erat antara bagian-bagian dari organisme hidup atau antara anggota-anggota di dalam masyarakat sehingga menjadi penyatuan hubungan yang diangap harmonis
Faktor-faktor yang mendukung integrasi sosial di Indonesia:
f. adanya penggunaan bahasa Indonesia
g. adanya semangat persatuan dan kesatuan dalam satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air
h. adanya kepribadian dan pandangan hidup kebangsaan yang sama, yaitu Pancasila
i. adanya jiwa dan semangat gotong royong yang kuat serta rasa solidaritas dan toleransi keagamaan yang tinggi
j. adanya rasa senasib sepenanggungan akibat penjajahan yang lama diderita oleh seluruh bangsa di Indonesia
c.       Disintegrasi
Disebut pula disorganisasi, merupakan suatu keadaan dimana tidak ada keserasian pada bagian-bagian dari suatu kesatuan. Agar masyarakat dapat berfungsi sebagai organisasi harus ada keserasian antar bagian-bagian
d.      Reintegrasi
Disebut juga reorganisasi, dilaksanakan apabila norma-norma dan nilai-nilai baru telas melembaga (institutionalized) dalam diri warga masyarakat.

Akan tetapi ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah-masalah komunikasi yang timbul akibat keanekaragaman dan perubahan kebudayaan, yaitu melalui :
1.      Asimilasi
2.      self-segretion ialah masing-masing pihak memisahkan diri dan saling menghindar dalam rangka mengurangi ketegang.
3.      integrasi
4.      pluralisme

Pengembangan Keluarga


A.    Pembentukan Keluarga (Perkawinan)
Secara bahasa perkawinan atau nikah adalah adh-dhammu wal jam’u artinya menggabungkan dan mempersatukan. Yang dimaksud adalah mempersatukan cita, rasa,dan karsa antara dua orang lawan jenis. Secara hukum, nikah atau perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim sehingga menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. Ditinjau dari segi muamalah, perkawinan merupakan ikatan persaudaraan antara dua keluarga, bahkan di keluarga besar, sehingga berbagai urusan sosial kemasyarakatan akan semakin mudah diatasi.  Berawal dari sebuah pernikahan maka akan terbentuklah keluarga.
Keluarga bahagia ialah keluarga yang diliputi oleh suasana damai, aman dan tertib, penuh pengertian, dan tolong menolong diantara keluarganya.Keluarga yang demikian ituu terasa sabagisatu-satunya tempat yang membahagiakan, karena seluruh anggota keluarga akan merasa aman dan nyaman tinggal dirumah.
Allah SWT Berfirman : “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari sejenismu sendiri supaya kamu cenderung merasa tenteram kepadanya, dan dijakanNya diantramu rasa kasih sayng, Sesungguhnya pada yang demikian itu, benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(Ar-Rum :21)
B.     Hak dan Kewajiban Anggota Keluarga
Dua insan yang berlainan jenis, laki-laki dan perempuan yang semula masing-masing bebas, maka setelahmenikah atau menjalin hubungan suami istri, mau tidakmauharus tunduk dan patuh kepada kewajiban masing-masing. Suatu kewajiabn yang dilakukan oleh suami adalah hak bagi istri. Sedangkan kewajiban yang dilakukan oleh istri akan menjadi hak bagi suami. 
1.      Kewajiban Suami
a.       Memberi nafkah, pakaina dan tempat tinggal kepada istri dan anak-anaknya sesuai dengan kemampuan yang diusahakan secara maksimal. Allah berfirman:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا
Artinya : Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.(Al-Baqara: 233)
b.      Bergaul dengan istri secara makruf. Cara yang makruf ialah cara yang layak atau patut, antara lain dengan akhlak yang baik. Penuh kasih sayang, menghargai, memperhatikan dan sebagainya.
c.       Memimpin keluarga yaitu istri dan anak-anaknya dalam menjalankan roda organisasi keluarga untuk mencapai tujuan yang diharapkan yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin, dunia dan akhirat. Allah berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Artinya :Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
2.      Kewajiban Istri
Keberadaan seorang wanita sebagai istri dan juga sebagai seorang ibu dalam lingkungan sebuah keluarga memiliki arti yang sangat penting, bahkan bisa dikatakan istri merupakan satu tiang yang menegakkan kehidupan keluarga dan termasuk pemeran utama dalam mencetak "orang-orang besar". Sehingga tepat sekali bila ada yang mengatakan bahwa : "Di balik setiap orang besar ada seorang wanita yang mengasuh dan mendidiknya".
Berikut beberapa 
kewajiban seorang istri dalam sebuah rumah tangga adalah : 
1.      Taat kepada suami dalam hal serta perkara bukan dalam rangka maksiat kepada Allah.
Taat ini karena seorang suami adalah seorang pemimpin dalam rumah tangga.Dan ketaatan ini lebih didahulukan daripada melakukan ibadah sunnah.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Tidak boleh seorang wanita puasa (sunnah) sementara suaminya ada di tempat kecuali setelah mendapatkan izin suaminya."(HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Kewajiban dalam menaati suami ini dalam perkara yang ia perintahkan sebatas kemampuan seorang istri , karena hal ini juga merupakan keutamaan seorang lelaki terhadap kaum wanita.
2.      Mengerjakan pekerjaan rumah sebagai seorang ibu rumah tangga seperti halnya memasak, mencuci, membersihkan rumah dan sebagainya.
Seorang istri sudah semestinya melakukan pekerjaan rumah tangga seperti di atas dengan penuh kerelaan dan kelapangan hati dan kesadaran bahwa hal itu merupakan salah satu ibadah kepada Allah. 
3.      Menjaga harta suami.
Dalam hal menjaga harta suami ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Sebaik-baik wanita penunggang unta, wanita Quraisy yang baik, adalah yang sangat penyayang terhadap anaknya ketika kecilnya dan sangat menjaga suami dalam apa yang ada di tangannya." (HR. Al-Bukhari no. 5082 dan Muslim no. 2527)
4.      Menjaga rahasia suami dan juga kehormatannya sehingga hal tersebut akan menumbuhkan kepercayaan sang suami secara penuh terhadapnya.
5.      Bergaul dengan suami dengan cara yang baik.
6.      Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara membuatnya ridha ketika suami marah, menunjukkan rasa cinta dan sayang kepadanya dan juga penghargaan, mengucapkan kata-kata yang baik dan wajah yang selalu penuh senyuman, dan memaafkan kesalahan suami bila ia bersalah.Hal yang tidak kalah penting adalah dalam hal memperhatikan makanan,minuman, serta pakaian dari suami.
7.      Memelihara dan mendidik anak. Sebagaimana suami, istripun berkewajiban mengasuh anakdan mendidik anak. Fungsi istri sebagi pengasuh dan pendidik anak lebih besar disbanding suami, sebab pada umumnya istri lebih dekat hubungannya dengan anak, terutama pada waktu anak masih kecil.
8.      Mengatur waktu dengan sebaik mungkin. Sehingga dengan mengatur waktu ini semua pekerjaan terselesaikan pada waktunya, menjaga kebersihan dan juga keteraturan didalam rumah sehingga selalu tampak rapi dan juga bersih hingga hal tersebut menimbulkan sesuatu yang menyenangkan pandangan bagi sang suami dan membuat buah hati menjadi betah di dalam rumah.
9.      Bersikap dan berkata jujur terhadap suami dalam segala sesuatu,
Khususnya ketika ada sesuatu yang terjadi sementara 
suami tidak berada dalam rumah. Jauhi sifat dusta karena hal ini akan menghilangkan kepercayaan suami.

Tambahan : Hukum Bagi Istri yang bekerja
Dalam hukum Islam, tidak dilarang bagi seorang istri yang ingin bekerja mencari nafkah, selama cara yang ditempuh tidak melenceng dari syariat Islam.  Bahkan, al-Qur'an secara tegas menuntut laki-laki dan perempuan untuk bekerja dengan kebaikan.
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan”, (QS. 16: 97).

Ditekankan dalam ayat Ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama, dan amal kebaikan harus disertai iman.
Beberapa sahabat perempuan pada masa Nabi Muhammad Saw, juga bekerja. Termasuk istri beliau, Siti Khadijah, juga seorang entrepreneur/pengusaha, baik untuk kepentingan ekonomi, sosial, maupun agama. 

Dengam demikian, Islam sebenarnya mendukung istri/perempuan untuk bekerja demi tujuan-tujuan yang positif. Meskipun dalam fikih ada ketentuan bahwa kewajiban nafkah itu ada di pundak laki-laki/suami, sebagimana dijelaskan dalam Al Qur'an :
“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka…” (QS. 4: 34)

Dalam fikih, sebenarnya tidak ada teks yang secara eksplisit melarang istri untuk bekerja, namun jangan sampai diabaikan tugas pokok istri yaitu sebagai ibu dan pengatur rumah tangga serta terhadap (pendidikan/dan pembentukan akhlaq) bagi anak-anaknya, juga menjaga kehormatannya. Dan ini yang dihukumi wajib karena ada konsekwensi pertanggungan jawab kepada Allah swt. Istri tidak dibebani untuk mencari nafkah (bekerja) baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya, justru berhak mendapatkan nafkah dari suaminya (kalau perempuan tersebut telah menikah) atau walinya (kalau belum menikah).
Dengan kata lain seandainya dia bekerja , maka mubah hukumnya selama bisa tetap menjalankan fungsinya sebagai pemelihara terhadap anak-anaknya dan dapat menjaga diri dan kehormatannya. Akan tetapi, bila sudah tercukupi nafkahnya dari suami maka seharusnya wanita/Istri harus mendahulukan yang wajib dan mengabaikan yang mubah. Karena yang wajib itu lebih berat konsekuensinya (pertanggung jawabannya ) kepada Allah swt.

Sedangkan menurut Bachrun Rifai, ketua DKM Iqomah UIN SGD Bandung, seorang istri diperbolehkan mencari nafkah bagi keluarganya, karena hukum asalnya pun mubah. Kendati demikian, tetap harus mendapatkan izin dari suami untuk bekerja. Hal seperti itu bertujuan keharmonisasian dalam keluarga tidak hilang karena faktor pekerjaan, dan senantiasa terkoordinir setiap urusan rumah tangga.
Hal ini membuktikan bahwa Islam itu mudah, dan tidak ada peraturan yang menyulitkan bagi pemeluknya. Islam telah mengatur segalanya dengan sedemikian rupa, sehingga akan menjadikan hidup menjadi terarah.

3.      Hak Bersama Suami-Istri
Dengan selesainya akad nikah, pasangan suami istri halal melakukan berbagai hal yang semula dilarang syariat. Mereka hidup bersama dalam satu rumah dengan berbagai fasilitas dan risikonya. Mereka saling memiliki sehingga hak hubungan seksual pun merupakan hak bersama secara timbal balik.
Namun, dalam hal saling memiliki, istri harus tunduk kepada aturan syariat bahwa seorang suami diperbolehkan beristri lebih dari satu asalakan dapat berbuat adil  terhadap semua istrinya. Dalam kesempatan ini, hak istri adalah menuntut keadilan yang seadil-adilnya.
4.      Hak dan Kewajiban Anak             
Kewajiban dan hak seorang anak adalah berbakti kepada kedua orang tuanya. “Berbaktilah kepada orang tuamu, niscaya anak-anakmu akan berbakti kepadamu, berlakulah sopan niscaya istri-istrimu akan menghargaimu.”Rasulullah bersabda “Orang tua itu adalah pusat pintu-pintu surga. Jika Anda menginginkan  maka aku kan meletakkan pintu itu atau aku akan menjaganya.” Selain itu sabda Nabi saw “Ridla Allah tergantung ridla kedua orang tua, demikian pula marahNya tergantung kemarahan kedua orang tua.”
·         Kewajiban seorang anak dalam memenuhi hak kedua orang tuanya:
1.      Ketika kedua orang tua menginginkan makanan,maka berilah makanan
2.      Ketika kedua orang tua menginginkan pakaian,maka berilah pakaian
3.      Ketika kedua orang tua memerlukan bantuan apa saja,bantulah dia
4.      Memenuhi panggilan merekanya
5.      Mematuhi segala  perintahnya, dengan catatan bukan perintah maksiat atau mengatakan kejelakan lain
6.      Merendahkan diri dihadapan mereka dengan kasih sayang
7.      Ketika berbicara pakailah kata-kata yang baik,lunak,lemah lembut,tidak kasar
8.      Tidak boleh memanggil nama kecilnya
9.      Ketika berjalan harus dibelakangnya
10.  Senang kepada keduanya sebagimana senang kepada dirinya sendiri sebaliknya membenci bagi keduanya sebagaimana pada dirinya  sendiri.
11.  Memohonkan mapun untuk keduanya serta rahmat Allah.
·         Hak seorang anak kepada orang tuanya :
1.      Memilihkan ibu yang baik,jangan sampai terhina akibat ibunya
2.      Memberi nama yang baik ketika lahir
3.      Mendidiknya dengan Al-Quran(agama Islam)
4.      Mengawinkan ketika menginjak dewasa.
Jika tidak dengan hati nurani maka kita akan kesulitan untuk melaksanakan itu semua. Dan seorang sahabat Nabi saw berkata bahwa salah satu penyebab kesulitan penghidupan adalah tidak mendo’akan kedua orang tuanya.
C.    Pergaulan Dalam Keluarga
Keharmonisan suatu keluarga dapat terwujud melalui pergaulan yang disadari kasih sayang secara proporsional. Anak yang dibesarkan dengan kasih sayang yang benar akan tumbuh menjadi orang yang dapat memahami hak orang lain. Al-Qur’an menegaskan bahwa suami harus saling melindungi (Q.S. Al-Baqarah :187), anak harus berbakti kepada kedua orang tuanya (Q.S. Al-Isra’: 23), dalam keluarga harus dikembangkan prinsip saling mengingatkan (Q.S. Al-Ashr:1-3). Sementara itu, Rasulullah SAW. Menegaskan agar orang yang lebih tua menyayangi yang lebih muda, dan yang lebih muda menghormati yang lebih tua (H.R. Bukhari dan Abu Dawud dari Ibnu Amr). Disamping itu , etika pergaulan secara umum harus terealisasikan juga dalam kehidupan suatu keluarga. 
D.    Pengembangan Keluarga
Saat lahir manusia tidak mengetahui dan tidak memiliki suatu apa pun. Lalu secara bertahap, berkat rahmat Allah SWT. Dan kasih sayang kedua orang tuanya, ia memperoleh pengetahuan dan keterampilan serta mendapatkan sejumlah hak milik. Fisik dan mental pun berkembang seiring dengan pertambahan usianya. Fakta ini membuktiakan bahwa keluarga memegang peranan yang cukup penting dalam pengembangan potensi dasar seluruh anggotanya.

Hukum bagi Istri yang Bekerja


Hukum bagi istri yang bekerja

Dalam hukum Islam, tidak dilarang bagi seorang istri yang ingin bekerja mencari nafkah, selama cara yang ditempuh tidak melenceng dari syariat Islam.  Bahkan, al-Qur'an secara tegas menuntut laki-laki dan perempuan untuk bekerja dengan kebaikan.

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan”, (QS. 16: 97).

Ditekankan dalam ayat Ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama, dan amal kebaikan harus disertai iman.

Beberapa sahabat perempuan pada masa Nabi Muhammad Saw, juga bekerja. Termasuk istri beliau, Siti Khadijah, juga seorang entrepreneur/pengusaha, baik untuk kepentingan ekonomi, sosial, maupun agama. Dengam demikian, Islam sebenarnya mendukung istri/perempuan untuk bekerja demi tujuan-tujuan yang positif. Meskipun dalam fikih ada ketentuan bahwa kewajiban nafkah itu ada di pundak laki-laki/suami, sebagimana dijelaskan dalam Al Qur'an :

“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka…” (QS. 4: 34)

Dalam fikih, sebenarnya tidak ada teks yang secara eksplisit melarang istri untuk bekerja, namun jangan sampai diabaikan tugas pokok istri yaitu sebagai ibu dan pengatur rumah tangga serta terhadap (pendidikan/dan pembentukan akhlaq) bagi anak-anaknya, juga menjaga kehormatannya. Dan ini yang dihukumi wajib karena ada konsekwensi pertanggungan jawab kepada Allah swt. Istri tidak dibebani untuk mencari nafkah (bekerja) baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya, justru berhak mendapatkan nafkah dari suaminya (kalau perempuan tersebut telah menikah) atau walinya (kalau belum menikah). Dengan kata lain seandainya dia bekerja , maka mubah hukumnya selama bisa tetap menjalankan fungsinya sebagai pemelihara terhadap anak-anaknya dan dapat menjaga diri dan kehormatannya. Akan tetapi, bila sudah tercukupi nafkahnya dari suami maka seharusnya wanita/Istri harus mendahulukan yang wajib dan mengabaikan yang mubah. Karena yang wajib itu lebih berat konsekuensinya (pertanggung jawabannya ) kepada Allah swt.


Tidak boleh seorang muslim/muslimah mendahulukan perbuatan yang mubah dan mengabaikan perbuatan wajib. Tidak boleh mendahulukan pekerjaan/karier, dan mengabaikan Rumah Tangga serta tidak mengurus pendidikan anak-anak.
Lalu, bagaimana bila sebelum menikah si wanita /calon istri memang sudah bekerja ?
Bila memang demikian, jika sudah ada kesepakatan sebelum pernikahan, bahwa isteri akan bekerja, maka suami tidak berhak untuk melarang. Menurut Madzhab Hanbali, apabila laki-laki sebelumnya sudah tahu, bahwa calon isterinya bekerja, maka ia tidak diperkenankan untuk menghentikan atau melarangnya (lihat: al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz VII, h. 795). Lebih jauh lagi mayoritas ulama fikih berpendapat, bahwa suami yang nyata tidak mampu bekerja, baik karena sakit, miskin atau yang lain, hendaknya memperkenankan isterinya untuk bekerja. Suami-nya, dalam hal ini, sama sekali tidak berhak
untuk melarang isteri bekerja (lihat: Fatawa Ibn Hajar, juz IV, h. 205 dan Al-Mughni li Ibn Qudamah, juz VII, h. 573).

Dalam Islam, keluarga adalah dibentuk untuk mewujudkan ketentraman, cinta dan kasih sayang, bagi semua anggotanya (QS. 30: 21). Posisi suami dan isteri adalah sama, dalam ungkapan al-Qur'an yang satu menjadi selimut bagi yang lain (QS, 2: 187). Suami dan isteri secara bersama dituntut untuk melakukan kerja-kerja positif untuk kepentingan keluarga dan masyarakat demi mendapatkan kehidupan yang sakinah.

Sedangkan menurut Bachrun Rifai, ketua DKM Iqomah UIN SGD Bandung, seorang istri diperbolehkan mencari nafkah bagi keluarganya, karena hukum asalnya pun mubah. Kendati demikian, tetap harus mendapatkan izin dari suami untuk bekerja. Hal seperti itu bertujuan keharmonisasian dalam keluarga tidak hilang karena faktor pekerjaan, dan senantiasa terkoordinir setiap urusan rumah tangga.

Hal ini membuktikan bahwa Islam itu mudah, dan tidak ada peraturan yang menyulitkan bagi pemeluknya. Islam telah mengatur segalanya dengan sedemikian rupa, sehingga akan menjadikan hidup menjadi terarah.

Pengertian Tauhid Rububiyah


A.                Pengertian Tauhid Rububiyah
Rububiyah Allah adalah mengesakan Allah dalam tiga perkara yaitu penciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan pengaturan-Nya. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Allah Pencipta sesuatu dan Dia Maha Pemelihara atas segala sesuatu ” (Az-Zumar: 62)
Bahwasanya Dia adalah Pemberi rizki bagi setiap manusia, bina­tang dan makhluk lainnya. Dan bahwasanya Dia adalah Penguasa alam dan Pengatur seme­sta, Dia yang mengangkat dan menurunkan, Dia yang memuliakan dan menghinakan, Mahakuasa atas segala sesuatu. Pengatur rotasi siang dan malam, Yang menghidupkan dan Yang mematikan.
ALLAH YANG MAHA PENCIPTA, MAHA KUASA DAN MAHA PENGATUR
Allah yang merencanakan penciptaan, kekuasaan, pengaturan suatu kejadian / penciptaan sebut saja proses seekor nyamuk dari sebelum ada, akan menjadi ada, setelah ada Allah mengatur kehidupan, habitat nyamuk apa yang akan dimakannya, kemana ia akan terbang berapa jumlah jatah makanan detik ini, dengan nyamuk mana ia akan kawin, Allah yang memberi tahukan atau memberi petunjuk ke mana ia akan mencari makanan, bagaimana bentuk, rupa warna, bau makanannya dan berapa jumlah makanan yang akan di dapatnya Allah yang memaklumkan yang memberitahukan, mengajar, mendidik nyamuk tersebut, dan menentukan berapa telur yang akan dihasilkannya, mengatur keturunannya seterusnya-seterusnya. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuz)” (Hud: 6)
Allah Maha Pencipta segala sesuatu, Mencipta segala sesuatu menjadi nyata, segala sesuatu menjadi berbeda, segala sesuatu menjadi berupa-rupa, segala sesuatu menjadi nyata warna-warninya, terang, gelap, kabur, samar-samar dan sampai tak terlihat sama sekali, karena Allah menciptakan sesuatu menjadi nyata, maka Allah itu secara hakikat sebenarnya/sesungguhnya lebih nyata dari segala sesuatu.
Bukankah kebanyakan dari manuasia itu tidak mengenal Allah dengan sebenarnya ' Awaluddin Ma'rifatullah /awal agama mengenal Allah" mengenal Allah tidak hanya kenal nama dan tidak kenal dengan Yang Empunya Nama, kalau tidak mengenal Allah dengan sebenarnya kemungkinan akan bertingkah laku, beranggapan, berapresiasi terhadap sesuatu termasuk kepada Syirik (Menyekutukan Allah) inilah dosa yang tidak akan diampunkan. " Dosa walau sepenuh langit dan bumi akan diampunkan Oleh Allah Yang Maha Pengampun kecuali dosa syirik (menyekutukanNya).

B.     Makna Tauhid Rububiyah Allah
Maknanya, menyakini bahwa Allah adalah Dzat yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rizki, mendatangkan segala mamfaat dan menolak segala mudharat. Dzat yang mengawasi, mengatur, penguasa, pemilik hukum dan selainnya dari segala sesuatu yang menunjukkan kekuasaan tunggal bagi Allah. Dari sini, seorang mukmin harus meyakini bahwa tidak ada seorangpun yang menandingi Allah dalam hal ini.
Allah mengatakan: “’Katakanlah!’ Dialah Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya sgala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al Ikhlash: 1-4)
Jadi, tauhid rububiyah adalah bukti wajibnya tauhid uluhiyah. Allah memerintahkan mereka bertauhid uluhiyah, yaitu menyembahNya dan beribadah kepadaNya. Dia menunjukkan dalil kepada mereka dengan tauhid rububiyah, yaitu penciptaanNya terhadap manusia dari yang pertama hingga yang terakhir, penciptaan langit dan bumi serta seisinya, penurunan hujan, penumbuhan tumbuh-tumbuhan, pengeluaran buah-buahan yang menjadi rizki bagi para hamba.
Maka sangat tidak pantas bagi mereka jika menyekutukan Allah den­gan yang lainNya; dari benda-benda atau pun orang-orang yang mereka sendiri mengetahui bahwa ia tidak bisa berbuat sesuatu pun dari hal-hal tersebut di atas dan lainnya. Maka jalan fitri untuk menetapkan tauhid uluhiyah adalah berdasarkan tauhid rububiyah.

C.    Konsekuensi Tauhid Rububiyah

Tauhid Rububiyah yaitu mengesakan Allah Ta’ala dalam penciptaan, kekuasaan, dan pengaturan dan Maha kuasa atas segala sesuatu. Hal ini wajib diimani oleh setiap muslim.
Maka ketika seseorang meyakini bahwa selain Allah ada yang memiliki kemampuan untuk melakukan seperti di atas, berarti orang tersebut telah mendzalimi Allah dan menyekutukan-Nya dengan selain-Nya.
Allah ta’ala berfirman:
“Mahasuci Allah Yang di Tangan-Nya segala kekuasaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Mulk : 1).
Semua orang, bahkan orang yang non muslim jika ditanya mengenai siapa Tuhannya tentu akan menjawab, “Allah.” , sebagaimana firman-Nya :
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab,“Allah” maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)” (Q.S. Al-Ankabut: 61)
Akan tetapi pernyataan dan persaksian mereka tidak membuat mereka masuk Islam dan tidak membebaskan mereka dari api neraka serta tidak melindungi harta dan darah mereka dari misi jihad islam, karena mereka tidak mewujudkan tauhid Uluhiyah, bahkan sebaliknya mereka berbuat syirik kepada Allah dalam beribadah kepada-Nya dengan memalingkan ibadah mereka kepada selain Allah.
Tetapi pengimanan bahwasanya yang menciptakan sesuatu, mengatur dan Maha Kuasa Atas segala sesuatu mempunyai konsekuensi atau mengharuskan adanya pembuktian dengan pemurnian peribadatan atau segala bentuk penyembahan hanya kepada Allah Ta’ala saja. jenis tauhid ini diakui semua orang. Tidak ada umat mana pun yang menyangkalnya. Bahkan hati manusia sudah difitrahkan untuk mengakuiNya, melebihi fitrah pengakuan terhadap yang lain-Nya. Sebagaimana perkataan para rasul yang difirmankan Allah: Berkata rasul-rasul mereka: “Apakah ada keragu-raguan ter­hadap Allah, Pencipta langit dan bumi?” (Ibrahim: 10)
Adapun orang yang paling dikenal pengingkarannya adalah Fir’aun. Namun demikian di hatinya masih tetap meyakiniNya. Sebagaimana perkataan Musa Alaihissalam kepadanya: Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mu’jizat-mu’jizat itu kecuali Tuhan Yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir’aun, seorang yang akan binasa”. (Al-Isra’: 102)
Ia juga menceritakan tentang Fir’aun dan kaumnya: “Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombon­gan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya.” (An-Naml: 14)
Begitu pula orang-orang yang mengingkarinya di zaman ini, seperti komunis. Mereka hanya menampakkan keingkaran karena ke-sombongannya. Akan tetapi pada hakikatnya, secara diam-diam batin mereka meyakini bahwa tidak ada satu makhluk pun yang ada tanpa Pencipta, dan tidak ada satu benda pun kecuali ada yang mem­buatnya, dan tidak ada pengaruh apa pun kecuali pasti ada yang mempenga-ruhinya.
Firman Allah Subhannahu wa Ta’ala: “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan).” (Ath-Thur: 35-36)
Adapun pengingkaran adanya Tuhan oleh orang-orang komunis saat ini hanyalah karena kesombongan dan penolakan terhadap hasil renungan dan pemikiran akal sehat. Siapa yang seperti ini sifatnya maka dia telah membuang akalnya dan mengajak orang lain untuk menertawakan dirinya.
Hal ini berarti siapa yang mengakui tauhid rububiyah untuk Allah, dengan mengimani tidak ada pencipta, pemberi rizki dan pengatur alam kecuali Allah, maka ia harus mengakui bahwa tidak ada yang berhak menerima ibadah (tauhid uluhiyah) dengan segala macamnya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala
Tauhid rububiyah adalah bukti wajibnya tauhid uluhiyah. Allah membantah orang yang mengingkari tauhid uluhiyah dengan tauhid rububiyah yang mereka akui dan yakini.

D.    Ciri-ciri atau Indikator Ber-Tauhid Rububiyah
Adapun indikator atau ciri-ciri orang yang mengenal tauhid rububiyah, terikat dengan tiga perkara yaitu Ciptaan-Nya, Kuasa-Nya, Pengaturan-Nya.
Terkait dengan ciptaan-Nya:
·         Selalu ingat Allah SWT ketika melihat semua ciptaan-Nya
·         Selalu menjaga dan memlihara semua ciptaan-Nya
·         Mensyukuri nikmat yang telah diberikan
Terkait dengan Kuasa-Nya :
·         Selalu menyakini dengan sepenuh hati segala yang terjadi dalam kehidupannya itu adalah kehendak dan kuasa Allah SWT
·         Selalu dapat mengambil hikmah atas segala musibah yang terjadi pada dirinya, bahwa itu adalah hasil kuasa Allah SWT yang pada akhirnya bisa membuat manusia menjadi lebih baik di masa yang akan datang.
·         Meyakini bahwa segala sesuatu yang dianggap mustahil oleh manusia, bisa terjadi karena kuasa Allah.
Terkait dengan Pengaturan-Nya :
·         Selalu patuh dan taat terhadap perintah Allah
·         Meyakini bahwa peraturan Allah adalah pedoman hidup yang terbaik yang harus manusia patuhi seperti Al-qur’an.
·         Yakin bahwa segala apapun yang terjadi dimasa lampau, sekarang dan masa depan itu telah ada dalam pengaturannya, bahkan telah tertulis di Lauhil Mahfudz.


Recent Posts