Hukum bagi istri yang bekerja
Dalam hukum
Islam, tidak dilarang bagi seorang istri yang ingin bekerja mencari nafkah,
selama cara yang ditempuh tidak melenceng dari syariat Islam. Bahkan, al-Qur'an secara tegas menuntut
laki-laki dan perempuan untuk bekerja dengan kebaikan.
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang Telah mereka kerjakan”, (QS. 16: 97).
Ditekankan dalam ayat Ini bahwa laki-laki dan perempuan
dalam Islam mendapat pahala yang sama, dan amal kebaikan harus disertai iman.
Beberapa sahabat perempuan pada
masa Nabi Muhammad Saw, juga bekerja. Termasuk istri beliau, Siti Khadijah,
juga seorang entrepreneur/pengusaha, baik untuk kepentingan ekonomi, sosial,
maupun agama. Dengam demikian, Islam sebenarnya mendukung istri/perempuan untuk
bekerja demi tujuan-tujuan yang positif. Meskipun dalam fikih ada ketentuan
bahwa kewajiban nafkah itu ada di pundak laki-laki/suami, sebagimana dijelaskan
dalam Al Qur'an :
“kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara mereka…” (QS. 4: 34)
Dalam fikih, sebenarnya tidak ada
teks yang secara eksplisit melarang istri untuk bekerja, namun jangan sampai
diabaikan tugas pokok istri yaitu sebagai ibu dan pengatur rumah tangga serta
terhadap (pendidikan/dan pembentukan akhlaq) bagi anak-anaknya, juga menjaga
kehormatannya. Dan ini yang dihukumi wajib karena ada konsekwensi pertanggungan
jawab kepada Allah swt. Istri tidak dibebani untuk mencari nafkah (bekerja)
baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya, justru berhak mendapatkan nafkah
dari suaminya (kalau perempuan tersebut telah menikah) atau walinya (kalau
belum menikah). Dengan kata lain seandainya dia bekerja , maka mubah hukumnya
selama bisa tetap menjalankan fungsinya sebagai pemelihara terhadap
anak-anaknya dan dapat menjaga diri dan kehormatannya. Akan tetapi, bila sudah
tercukupi nafkahnya dari suami maka seharusnya wanita/Istri harus mendahulukan
yang wajib dan mengabaikan yang mubah. Karena yang wajib itu lebih berat
konsekuensinya (pertanggung jawabannya ) kepada Allah swt.
Tidak boleh
seorang muslim/muslimah mendahulukan perbuatan yang mubah dan mengabaikan
perbuatan wajib. Tidak boleh mendahulukan pekerjaan/karier, dan mengabaikan
Rumah Tangga serta tidak mengurus pendidikan anak-anak.
Lalu, bagaimana bila sebelum
menikah si wanita /calon istri memang sudah bekerja ?
Bila memang demikian, jika sudah
ada kesepakatan sebelum pernikahan, bahwa isteri akan bekerja, maka suami tidak
berhak untuk melarang. Menurut Madzhab Hanbali, apabila laki-laki sebelumnya
sudah tahu, bahwa calon isterinya bekerja, maka ia tidak diperkenankan untuk
menghentikan atau melarangnya (lihat: al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz VII,
h. 795). Lebih jauh lagi mayoritas ulama fikih berpendapat, bahwa suami yang
nyata tidak mampu bekerja, baik karena sakit, miskin atau yang lain, hendaknya
memperkenankan isterinya untuk bekerja. Suami-nya, dalam hal ini, sama sekali
tidak berhak
untuk melarang isteri bekerja
(lihat: Fatawa Ibn Hajar, juz IV, h. 205 dan Al-Mughni li Ibn Qudamah, juz VII,
h. 573).
Dalam Islam, keluarga adalah
dibentuk untuk mewujudkan ketentraman, cinta dan kasih sayang, bagi semua
anggotanya (QS. 30: 21). Posisi suami dan isteri adalah sama, dalam ungkapan
al-Qur'an yang satu menjadi selimut bagi yang lain (QS, 2: 187). Suami dan
isteri secara bersama dituntut untuk melakukan kerja-kerja positif untuk
kepentingan keluarga dan masyarakat demi mendapatkan kehidupan yang sakinah.
Sedangkan
menurut Bachrun Rifai, ketua DKM Iqomah UIN SGD Bandung, seorang istri
diperbolehkan mencari nafkah bagi keluarganya, karena hukum asalnya pun mubah.
Kendati demikian, tetap harus mendapatkan izin dari suami untuk bekerja. Hal
seperti itu bertujuan keharmonisasian dalam keluarga tidak hilang karena faktor
pekerjaan, dan senantiasa terkoordinir setiap urusan rumah tangga.
Hal ini
membuktikan bahwa Islam itu mudah, dan tidak ada peraturan yang menyulitkan
bagi pemeluknya. Islam telah mengatur segalanya dengan sedemikian rupa,
sehingga akan menjadikan hidup menjadi terarah.
0 komentar:
Posting Komentar